Minggu, 20 November 2011

pangan di Indonesia


Pangan untuk Indonesia


Indonesia memiliki sumber daya yang cukup untuk menjamin ketahanan pangan bagi penduduknya. Indikator ketahanan pangan juga menggambarkan kondisi yang cukup baik. Akan tetapi masih banyak penduduk Indonesia yang belum mendapatkan kebutuhan pangan yang mencukupi. Sekitar tiga puluh persen rumah tangga mengatakan bahwa konsumsi mereka masih berada dibawah kebutuhan konsumsi yang semestinya. Lebih dari seperempat anak usia dibawah 5 tahun memiliki
berat badan dibawah standar, dimana 8 % berada dalam kondisi sangat buruk. Bahkan sebelum krisis, sekitar 42% anak dibawah umur 5 tahun mengalami gejala terhambatnya pertumbuhan (kerdil); suatu indicator jangka panjang yang cukup baik untuk mengukur kekurangan gizi. Gizi yang buruk dapat menghambat pertumbuhan anak secara normal, membahayakan kesehatan ibu dan mengurangi produktivitas angkatan kerja. Ini juga mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit pada penduduk yang berada pada kondisi kesehatan yang buruk dan dalam kemiskinan.

Kebijakan untuk Menjamin Ketahanan Pangan

Terdapat tiga komponen kebijakan ketahanan pangan :
1. Ketersediaan Pangan: Indonesia secara umum tidak memiliki masalah terhadap ketersediaan pangan. Indonesia memproduksi sekitar 31 juta ton beras setiap tahunnya dan mengkonsumsi sedikit diatas tingkat produksi tersebut; dimana impor umumnya kurang dari 7% konsumsi.
Lebih jauh jaringan distribusi swasta yang berjalan secara effisien turut memperkuat ketahanan pangan di seluruh Indonesia. Beberapa kebijakan kunci yang memiliki pengaruh terhadap ketersediaan pangan meliputi:
· Larangan impor beras
· Upaya Kementerian Pertanian untuk mendorong produksi pangan
· Pengaturan BULOG mengenai ketersediaan stok beras


2. Keterjangkauan Pangan.
 Elemen terpenting dari kebijakan ketahanan pangan ialah adanya jaminan bagi kaum  miskin untuk menjangkau sumber makanan yang mencukupi. Cara terbaik yang harus diambil untuk mencapai tujuan ini ialah dengan memperluas strategi pertumbuhan
ekonomi, khususnya pertumbuhan yang memberikan manfaat bagi kaum miskin. Kebijakan ini dapat didukung melalui program bantuan langsung kepada masyarakat miskin, yang diberikan secara seksama dengan target Indonesia Policy Briefs - Ide-Ide Program 100 Hari dengan pihak penyelenggara lain, untuk mendapatkan perbandingan atas pelayanan publik yang selama ini dilakukan BULOG, termasuk biaya yang timbul dalam pelayanan tersebut.

MENGKAJI KEMUNGKINAN DIPISAHKANNYA BADAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL DARI KEMENTRIAN PERTANIAN
Kebijakan ketahanan pangan nasional membutuhkan keseimbangan yang tepat antara keinginan konsumen dan produsen. Dewan Ketahanan Pangan Nasional, yang diketuai oleh Presiden, didukung penuh oleh Badan Ketahanan Pangan Nasional dibawah Menteri Pertanian. Meski sejauh ini dewan tersebut menunjukkan kinerja yang cukup baik, susunan struktur seperti ini dapat menghadapi sejumlah kesulitan dimana Kementrian Pertanian pada dasarnya akan cenderung lebih menanggapi kemauan petani ketimbang keinginan konsumen pangan. MPR telah mempertimbangkan kemungkinan tersebut dan,melalui Keputusan MPR No 8/2003, menginstruksikan presiden untuk mengkaji kemungkinan BKP dijadikan sebagai lembaga yang terpisah dari Kementrian Pertanian. Permintaan MPR tersebut membutuhkan tanggapan yang yang cukup serius. Jika pemindahan itu memang harus dilakukan, hal tersebut harus
direncanakan secara matang, mengingat telah terjadi sejumlah perubahan susunan institusi ketahanan pangan dan koordinasi antar lembaga di tahuntahun belakangan ini.
Yang terpenting dalam hal ini ialah perubahan tersebut
tidak menghilangkan kapasitas institusi yang telah ada sebagai akibat
perencanaan yang tidak matang.


MENINGKATKAN EFEKTIVITAS DEWAN KETAHANAN PANGAN
DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
Peraturan Pemerintah tahun 2000 mengenai ketahanan pangan memberikan suatu kerangka dimana pemerintah daerah dapat berkontribusi dalam mencapai tujuan ketahanan pangan nasional. PP ini mengatur bahwa pemerintah sub-nasional turut bertanggung jawab terhadap ketahanan pangan dalam wilayah mereka masing-masing. Beberapa kabupaten/kota telah membentuk Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten/Kota. PP tersebut juga mendefinisikan kebutuhan pangan pokok secara luas, hal ini dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan bagi perbedaan pola makanan yang tercermin dalam ukuran-ukuran ketahanan pangan pada tingkat daerah. Dengan demikian beras tidak harus diberi penekanan khusus di daerah dimana
terdapat makanan pokok lainnya. Ini merupakan gambaran yang baik dari sistem yang sedang terbentuk, namun demikian kurangnya kapasitas kemampuan Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten/Kota membuat mereka hanya cenderung sekedar mengikuti agenda-agenda tertentu dan terlibat dalam pengadaan serta penyimpanan kebutuhan pokok yang tidak efektif.
Ini menjadi catatan penting bagi pemerintah pusat untuk memberikan petunjuk dan pengembangan kapasitas kemampuan agar Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten/Kota berfungsi secara efektif.

MENGHILANGKAN LARANGAN IMPOR BERAS
Pada Januari 2004 Kementrian Industri dan Perdagangan mengumumkan larangan atas impor beras mulai dari dua bulan sebelum hingga satu bulan
1 Peraturan Pemerintah No. 68/2002 tentang
Ketahanan Pangan, December 30, 2002, serves as
implementing regulation for paragraph 50 of the
National Food Law, No. 7, 1996.
yang sesuai. Sejumlah kebijakan penting yang mempengaruhi
keterjangkauan pangan meliputi:
· Program Raskin yang selama ini telah memberikan subsidi beras bagi
hampir 9 juta rumah tangga
· Upaya BULOG untuk mempertahankan harga pagu beras
· Hambatan perdagangan yang mengakibatkan harga pangan domestik
lebih tinggi dibandingkan harga dunia.
3. Kualitas Makanan dan Nutrisi
Hal yang juga penting untuk diperhatikan,sebagai bagian dari kebijakan untuk menjamin ketersediaan pangan yang mencukupi bagi penduduk, ialah kualitas pangan itu sendiri. Artinya penduduk dapat mengkonsumsi nutrisi-nutrisi mikro (gizi dan vitamin) yang mencukupi untuk dapat hidup sehat. Konsumsi pangan pada setiap kelompok pengeluaran rumah tangga telah meningkat pada jenis-jenis pangan yang berkualitas lebih baik. Namun, seperti catatan diatas, keadaan nutrisi makanan belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan sejak akhir krisis. Sejumlah kebijakan penting yang berpengaruh terhadap kualitas pangan dan nutrisi meliputi:
· Upaya untuk melindungi sejumlah komoditas pangan penting
· Memperkenalkan program pangan tambahan setelah krisis
· Penyebarluasan dan pemasaran informasi mengenai nutrisi
Sepuluh langkah dibawah ini mengkaji ulang efektivitas kebijakan di tiga
wilayah tersebut diatas dan kemudian mengajukan sejumlah langkah praktis
dalam meningkatkan keadaan dan mendorong ketahanan pangan.
I. MENGUPAYAKAN PERAN BULOG
BULOG masih merupakan salah satu institusi terpenting dalam menjamin ketahanan pangan di Indonesia. Perubahan status hukum BULOG pada tahun 2003 dari Badan menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah memperluas lingkup BULOG untuk melakukan aktivitas komersil sebagai bagian dari peran pentingnya dalam pelayanan jasa publik. Tugas BULOG termasuk menjaga stok ketahanan pangan nasional, pendukung publik dalam menjaga harga-harga komoditas pertanian, menyediakan pangan dalam keadaan darurat, dan melaksanakan program subsidi beras RASKIN bagi masyarakat miskin.
Pengawasan pemerintah pusat terhadap sejumlah pelayanan BULOG, yang selama ini dilakukan oleh BULOG sendiri, telah dialihkan ke dalam tugas Kementrian Keuangan dan Kementrian BUMN,dimana keduanya memiliki keterbatasan kapasitas dan pengalaman dalam hal manajemen dan kebijakan ketahanan pangan. Namun demikian BULOG masih tetap melakukan fungsi tersebut selama lebih dari setahun terakhir,
meski tanpa adanya persetujuan mengenai rencana usaha maupun dalam penyusunan anggaran, walaupun sebenarnya kedua hal tersebut dibutuhkan sebagai payung hukum.
Pemerintahan yang baru harus memperkuat pengawasan terhadap peran BULOG melalui Kementrian Keuangan dan Kementrian BUMN dengan cara:
1. Membangun prosedur pengesahan laporan keuangan, rencana usaha dan anggaran tahunan BULOG
2. Mulai membangun mekanisme penyediaan dan kontrak alternatif Pangan untuk Indonesia sesudah periode panen. Larangan ini secara berulang diperluas dan masih terus digunakan. Tujuan utama dari larangan tersebut dimaksudkan untuk mendukung para petani dan meningkatkan ketahanan pangan. Namun demikian kenyataan yang terjadi justru sebaliknya-harga eceran terus naik namun harga di tingkat petani tidak berubah, yang menunjukkan bahwa petani tidak memperoleh manfaat sesuai dengan harapan. Artinya, ketahanan pangan bagi kebanyakan orang menjadi lebih buruk. Sekitar 80 % penduduk mengkonsumsi beras lebih banyak dari yang diproduksinya, dan terbebani harga beras yang tinggi. Sementara di lain pihak, 20 % penduduk lainnya yang memperoleh keuntungan dari kebijakan ini, ternyata bukanlah masyarakat miskin. Studi terakhir menunjukkan bahwa larangan impor secara permanen dapat meningkatkan jumlah penduduk dibawah garis kemiskinan sebanyak 1,5 juta orang.
Pemerintahan yang baru sebaiknya menghapus larangan impor dan
membiarkan impor beras oleh para importir seperti sebelumnya. Memproteksi beras justru memperburuk ketahanan pangan. Namun jika proteksi dianggap penting secara politis hal itu dapat ditempuh melalui bentuk yang lebih transparan dan efisien seperti dengan menerapkan bea masuk yang rendah ketimbang memberlakukan larangan impor.


 MENGUBAH FOKUS DEPARTEMEN PERTANIAN DARI MENDORONG PENINGKATAN
PRODUKSI KE PERLUASAN TEKNOLOGI DAN PENCIPTAAN DIVERSIFIKASI
Kebijakan harga beras yang tinggi juga memiliki keterbatasan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan: Bagi produsen beras yang produksinya lebih tinggi dari konsumsi, dukungan melalui sejumlah kebijakan proteksi akan memberikan peningkatan pendapatan dalam waktu seketika; namun tidak mendorong pertumbuhan pendapatan yang berkelanjutan, ketika produktivitas pertanian beras domestik telah mencapai titik yang cukup tinggi. Akan lebih baik bagi Departemen Pertanian untuk memusatkan perhatian pada peningkatan produktivitas di sejumlah produkproduk pertanian secara lebih luas. Sebagaimana kita ketahui, konsumsi pangan disetiap kelompok pengeluaran rumah tangga telah bergerak menuju pangan dengan kualitas yang lebih baik. Dengan pertumbuhan seperti sekarang ini, konsumsi rumah tangga pada buah-buahan dan sayur-sayuran kecenderungannya akan melebihi nilai konsumsi beras dalam dekade ini.
Kebijakan pertanian saat ini terlalu berkonsentrasi pada pemenuhan beras, dimana nilainya cenderung rendah dan termasuk komoditas yang murah di pasaran internasional. Hal ini telah memaksa petani untuk menanam komoditas yang bernilai rendah serta menghambat upaya mereka untuk berpindah pada produksi buah-buahan, hortikultura dan perternakan yang bernilai tinggi. Di saat bersamaan pertumbuhan permintaan domestic terhadap produk-produk ini semakin meningkat. Kebijakan pertanian harus bergerak secara agresif menuju suatu penelitian dan agenda pengembangan yang menaruh perhatian pada komoditas bernilai tinggi dan produk-produk yang permintaannya tumbuh tinggi. Kebijakan tersebut juga dapat diusahakan
untuk membantu produsen kecil dalam memenuhi standar kualitas pada pasar-pasar yang sedang terbentuk, serta untuk memperoleh akses pada rantai pasokan pangan yang saat ini banyak dilayani oleh jaringan supermarket.
MENURUNKAN BIAYA RASKIN (DOWNSCALE RASKIN)
Program RASKIN dimaksudkan sebagai salah satu program penting pemerintah untuk mendukung ketahanan pangan dengan memasok sekitar 20 kg beras per bulan kepada 9 juta keluarga miskin.
Fakta yang ada menunjukkan bahwa program tersebut teramat mahal, menghabiskan sekitar Rp. 4,8 trilliun pada tahun 2004, dan relatif buruknya sasaran yang harus
dicapai, menyebabkan manfaat yang diperoleh masyarakat miskin sangat kecil.
Secara rata-rata, rumah tangga menerima sekitar 6 sampai 10 kg beras dan
bukan 20 kg, disebabkan karena beras tersebut didistribusikan secara merata baik pada rumah tangga yang tidak miskin maupun rumah tangga miskin.
Akibatnya, rata-rata nilai subsidi yang diberikan kepada masyarakat miskin melalui program ini hanya sekitar 2,1 % dari pengeluaran perkapita; jauh lebih kecil pada masyarakat yang tidak miskin. Kemudian juga kebanyakan subsidi tersebut tidak pernah sampai pada rumah tangga yang tepat, karena kebanyakan dana itu menjadi biaya operasional BULOG. Pada tahun 2004 pemerintah mengeluarkan sekitar Rp 3.343 untuk setiap kilogram beras yang diberikan melalui BULOG, meski pada kenyataannya penyediaan beras oleh pihak swasta dapat diperoleh pada tingkat harga Rp. 2.800. Dari keseluruhan dana anggaran BULOG untuk pogram RASKIN hanya sekitar 18% yang tepat sasaran kepada masyarakat miskin. 
Meski terdapat sejumlah permasalahan pada program Raskin- program ini merupakan salah satu dari sedikit program dengan lingkup nasional dan memiliki infrastruktur organisatoris yang berperan penting pada waktu terjadinya gangguan pangan. Penghapusan program RASKIN, bukanlah suatu cara yang tepat. Meski demikian juga penting untuk memikirkan reformasi yang radikal berkaitan dengan program ini,
 antara lain:
1. Mensosialisasikan dan melaksanakan target dari program RASKIN kepada masyarakat, dengan demikian masyarakat perdesaan dapat memahami bahwa distribusi program ini hanya diperuntukan bagi penduduk yang benar-benar miskin. Sekali lagi hal ini akan lebih mudah bila program ini memang tepat sasaran.
2. Menciptakan dasar biaya penyelenggaraan program RASKIN dan merevisi anggaran untuk program ini.
3. Memperluas penggunaan metode sasaran mandiri (self-targeting) oleh masyarakat miskin itu sendiri, misalnya melalui paket RASKIN yang lebih kecil jumlahnya dan frekwensi pemberian yang lebih sering.

Sasaran program RASKIN semestinya berjumlah lebih kecil dan biayanya jauh lebih murah. Melalui perbaikan sasaran, program tersebut masih tetap memiliki dampak yang lebih baik bagi masyarakat miskin.
VII. MEMIKIRKAN KEMBALI KEBIJAKAN STABILISASI HARGA BERAS
Langkah tradisional pemerintah dalam meningkatkan keterjangkauan pangan umumnya ditempuh dengan cara menstabilisasikan harga beras. Hal ini dilakukan melalui kebijakan harga pagu dan membeli beras di pasar dengan maksud mempertahankan tingkat harga tersebut. Meski demikian ketidakmampuan BULOG dalam mempertahankan harga pagu tersebut telah menjadi hal yang umum dan keterlibatan pemerintah didalam pasar, telah menghambat pengembangan mekanisme penyesuaian harga oleh pihak pemerintah.

VIII. MENDUKUNG DAN MENERAPKAN PENINGKATAN GIZI PADA BAHAN MAKANAN POKOK
Peningkatan gizi makanan, seperti melalui aturan penambahan yodium pada produksi garam atau dengan mengharuskan produsen untuk menambah sejumlah nutrisi mikro ke dalam produk makanan mereka,merupakan cara yang cukup efektif dalam meningkatkan standar gizi.
Pemerintah telah melakukan hal ini dengan mendukung penggunaan garam beryodium dan peningkatan gizi tepung terigu. Akan tetapi kondisigizi yang buruk masih merupakan persoalan utama. Sebagai contoh sekitar 63 % wanita hamil dan sekitar 65-68 % anak dibawah 2 tahun menderita anemia disebakan karena kekurangan zat besi. Sementara itu lebih dari seperempat rumah tangga belum mengkonsumsi garam
beryodium yang cukup.
Pemerintahan baru dapat meningkatkan kondisi gizi masyarakat dengan mendorong dan menerapkan standar pemenuhan produksi pangan yang bergizi. Sebagai contoh, di beberapa daerah produksi garam oleh sejumlah produsen kecil lokal didukung oleh pemerintah setempat, sekalipun hasil produksinya masih belum memenuhi standar yodium nasional. Pemerintah pusat harus bekerjasama dengan pemerintah daerah,
produsen serta konsumen,

untuk mendapatkan cara yang efektif dalam menjamin pemenuhan gizi (meningkatkan kadar yodium) tanpa harus merusak pendapatan produsen lokal. Hasil yang dicapai oleh Proyek Penanggulangan Defisiensi Yodium (Intensified Iodine Deficiency Control
Project) menunjukkan bahwa cara ini dapat ditempuh dan telah berhasil mengurangi lebih dari 50% angka penderita gondongan pada periode 1996 dan 2003 diantara anak-anak sekolah yang berada di provinsiprovinsi dengan endemi gondongan yang parah maupun moderat.
Menerapkan regulasi yang transparan juga menjamin bahwa investasi untuk memenuhi standar gizi pada produk makanan tidak akan dikurangi karena adanya produsen yang tidak memenuhi standar gizi pada produk makanan mereka. Kerjasama antar lembaga amat dibutuhkan melalui intervensi yang mencakup industri pengolahan makanan (dibawah Menperindag), impor (Kepabeanan/Bea Cukai), pengawasan penjualan
makanan (BPOM), pemasaran secara sosial (Menkes) dan pemerintahan daerah (Mendagri). Kerjasama harus bertujuan untuk membangun mekanisme perlindungan terhadap produk makanan tertentu, pilihan uji gizi produk makanan serta mekanisme penyediaannya dan membentuk kemitraan dengan produsen sektor swasta dan para pemasok produk makanan yang dilindungi. Kerjasama ini juga dapat ditujukan untuk
menciptakan standarisasi produk dan aturan-aturan produksi, serta memberikan pengawasan dan evaluasi terhadap penyediaan produk makanan, disamping mengawasi dampaknya terhadap produk makanan yang dilindungi bagi sejumlah penduduk.
FOKUSKAN KEMBALI PERHATIAN PADA PROGRAM MAKANAN TAMBAHAN
Program makanan tambahan yang tepat sasaran amat berperan penting dalam peningkatan gizi. Program makanan tambahan diperkenalkan setelah krisis sebagai bagian dari jaringan pengamanan sosial ( JPS). Nilai anggaran untuk program ini pada tahun 2004 meningkat hingga Rp 120milliar untuk memasok dan mendistribusikan MP-ASI yang diproduksisecara lokal, yaitu sejenis makanan tambahan utama dalam program tersebut. Meski demikian bukti yang diperoleh menunjukkan bahwa
cakupan program tersebut amat rendah dan tidak tepat sasaran.


 Sebuah studi menunjukkan bahwa sekitar 14% penduduk seperlima terkaya dan 17% penduduk seperlima termiskin yang sama-sama menerima program makanan tambahan. Pemerintah harus merevisi dan memfokuskan sasaran program untuk ditujukan pada masyarakat yang mengalami kemiskinan yang kronis dan berada pada situasi yang amat buruk.
X. MENINGKATKAN INFORMASI MENGENAI GIZI
Survei menunjukkan bahwa ibu dengan pengetahuan gizi yang lebih baik menyiapkan lebih banyak gizi dan vitamin pada setiap makanan dalam rumah tangga. Pengetahuan ibu akan gizi tidaklah terkait erat dengan tingkat pendidikan formal mereka maupun tingkat pendapatan. Ini menunjukkan bahwa kampanye mengenai informasi tentang gizi dapat meningkatkan kualitas menu makanan. Apalagi ketersediaan bahan
makanan yang bergizi pada pasar lokal, telah cukup meningkat. Di masa lalu jaringan posyandu merupakan salah satu jaringan yang paling efektif untuk memberikan informasi tentang gizi kepada kaum ibu, namun cakupan geografis dan kualitas penyampaian informasi gizi melalui posyandu kini mengalami penurunan.
Sementara program revitalisasi posyandu perlu mendapat perhatian, terpantau adanya sejumlah kendala pada anggaran dan sumber daya manusia, terutama berkaitan dengan masalah desentralisasi. Selain itu, penyelenggara jasa informasi alternatif juga mampu memberikan pelayanan yang lebih baik. Sehingga tujuan untuk membangun kembali jaringan secara nasional yang pernah ada, seperti posyandu, mungkin
bukan suatu hal yang tepat. Akan lebih baik jika penyampaian informasi sosial mengenai gizi menempuh jalur altenatif yang tersedia, khususnya melalui saluran televisi dan radio.

dikutip dari : wikipedia.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar